
Kampung Ruteng Pu’u merupakan salah satu kampung adat tertua yang terletak di Kelurahan Golo Dukal, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung adat ini berlokasi tidak jauh dari pusat kota, sekitar empat kilometer, sehingga dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit dan akses menuju lokasi kampung adat mudah ditempuh baik menggunakan mobil maupun sepeda motor. Kampung Ruteng Pu’u merupakan pusat perkampungan adat di Kabupaten Manggarai sebelum adanya beberapa kampung adat lain. Kata Ruteng memiliki arti pohon beringin/aju langke, sedangkan Pu’u dalam bahasa Manggarai mempunyai makna pusat, sehingga Ruteng Pu’u memliki arti pusat kampung yang paling pertama dalam kota Ruteng. Kampung adat ini menjadi pusat kegiatan kebudayaan dan tujuan wisata yang menyajikan keunikan budaya Manggarai melalui adanya bangunan rumah adat yang khas, ritual adat, dan alam sekitar yang menyajikan keindahan. Kampung Ruteng Pu’u memiliki dua suku, yakni Suku Runtu dan Suku Ndosor. Dua suku ini memiliki leluhur yang berasal dari Sulawesi yang terhubung dengan Toraja dan dari Sumatra yang terhubung dengan Minangkabau. Terdapat tiga dalu dalam Manggarai Tengah, yakni Dalu Ruteng, Dalu Todo, dan Dalu Cibal. Masing-masing dalu memiliki hak wilayahnya masing-masing, sehingga terdapat batas-batas antara wilayah dari masing-masing dalu. Bentuk susunan pada Kampung Ruteng Pu’u dibuat oleh bidadari. Ada persyaratan dan perjanjian antara nenek moyang pada Kampung Ruteng Pu’u dengan bidadari sehingga susunan kampung berbentuk seperti ini beserta batu-batunya. Terdapat dua rumah adat dalam Kampung Ruteng Pu’u, yakni Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor. Bentuk seperti sarang laba-laba pada atap rumah adat melambangkan pembagian kebun. Siri Bongko atau tiang pusat memiliki makna satu komando, jadi yang duduk disana adalah Tetua Adat atau biasa disebut Tua Golo. Tua Golo pada Kampung Ruteng Pu’u yakni Benediktus Jemparo yang merupakan keturunan ke-13 dari leluhur Kampung Ruteng Pu’u. Lutur di dalam rumah merupakan tempat untuk musyawarah mufakat, jadi penyelesaian masalah dilaksanakan di lutur rumah tetua adat. Masalah yang diselesaikan dalam lutur misalnya perselisian dalam kampung. Tidak terdapat kursi ataupun meja dalam lutur, hanya ada tikar dan loto sebagai pengganti meja. Terdapat lambang tanduk kerbau, yang menandakan sebagai rumah pusat, yaitu rumah yang ditinggali tetua adat. Sebelum memasuki rumah baru yang telah dibangun (congko longkap yang berarti bersih rumah), dilakukan upacara dan pemotongan kerbau. Nenek moyang Darwin yang berasal dari minangkabau membawa bentuk rumah yang sama sehingga bentuk rumah pada kampung Ruteng Pu’u masih terdapat sentuhan “Minangkabau” dan terdapat sebutan kraeng yang masih digunakan. Tidak ada penggunaan marga, namun biasanya mereka menambahkan nama nenek moyang dibelakang nama.

Dalam wilayah kampung Ruteng Pu’u terdapat 33 KK yang masih menjaga kelestarian dan tradisi kampung adat. Semua penduduk Kampung Ruteng Pu’u merupakan orang asli, tidak ada orang luar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, dengan komoditas yang paling banyak ditanam yakni padi dan kopi. Selain bertani, beberapa ibu rumah tangga pada Kampung Ruteng Pu’u juga membuat kain tenun. Untuk pembuatan kain tenun sendiri, ada keturunan khusus dari nenek moyang yang bisa menenun, sehingga tidak semua orang bisa menenun. Motif tenun antara dalu satu dengan dalu lainnya juga berbeda. Terdapat beberapa pakaian khas yang biasa digunakan, yakni kain Songke (kain manggarai), sapu (laki), bai delo (biasa digunakan pada tarian adat perempuan), dan ikat retu (digunakan oleh perempuan). Pengerjaan kain Songke bisa lebih dari sebulan, yang dikerjakan pada waktu siang maupun malam. Harga kain Songke bervariatif tergantung pada kualitas pengerjaannya dan bahan yang digunakan.

Pengunjung yang datang ke Kampung Ruteng Pu’u merasa diterima dengan baik oleh Tua Golo maupun penduduk setempat, karena setiap tamu yang datang dianggap sebagai keluarga. Setiap pengunjung yang datang diwajibkan menggunakan kain Songke sebagai bentuk disambutnya pengunjung sebagai bagian dari kampung adat. Bentuk rumah adat yang sangat indah dan budaya yang masih terjaga membuat tempat ini banyak diminati wisatawan, ditambah dengan letaknya yang tidak jauh dari pusat kota. Selain itu, dengan adanya rombongan DJPb yang berkunjung ke Kampung Ruteng Pu’u, Tua Golo maupun penduduk merasa nyaman dan tidak merasa terganggu dengan kunjungan rombongan DJPb. Hal ini dikarenakan tidak ada kendala bahasa sehingga ketika menjelaskan maupun menjawab pertanyaan terkait sejarah maupun asal-usul Kampung Ruteng Pu’u mereka tidak mengalami hambatan. Menurut Tua Golo, terdapat kendala ketika ada rombongan turis yang datang tanpa tour guide, karena adanya kendala bahasa. Hal ini menyebabkan ketika menjelaskan terkait sejarah dan asal usul maupun pantangan menjadi terhambat. Pada saat rombongan DJPb datang berkunjung, terdapat turis dari yang juga berkunjung. Tua Golo merasa terbantu dengan adanya rombongan DJPb yang saat itu sedang berkunjung karena bisa membantu untuk menjembatani komunikasi antara Tua Golo dengan turis yang berkunjung, sehingga hal-hal yang disampaikan oleh Tua Golo bisa diterima dengan baik oleh turis yang berkunjung tersebut.